Oleh: Iwan Prast
eksposia.com – Sebenarnya, ini agak membingungkan (meski belum sampai “mem-bagong-kan”). Filmnya diproduksi Amerika, sutradaranya juga, tapi narasi dan tokoh utamanya adalah Ronin alias Samurai tak bertuan yang menggunakan Bahasa Jepang. Tak ada Bahasa Inggris sama sekali. Dan banyak aktor laga Indonesia mengisi di sini, dengan koreografi perkelahian lebih kental ke Silat.
Tapi secara garis besar, mari kita ambil garis positif, bahwa sineas Josh C Waller ingin menyajikan sesuatu berbeda dalam film produksi Hollywood. Ya, kalau mau kita kaitkan, samalah dengan dua film garapan aktor Mel Gibson, yaitu Passion of the Christ yang menggunakan Bahasa Aramaik (bahasa asal Yesus), serta Appocalypto yang full Bahasa Indian Yucatec dan Indian Maya. Hanya saja secara kualitas, maaf, janganlah disandingkan.
Secara jujur, saya harus sedikit kecewa saat narasi bertutur tentang pertempuran Jepang dan Mongolia pimpinan Kubilai Khan di sekitar tahun 1200-an Masehi. Tapi nyatanya isi flm ini lebih berkisah tentang survival-nya seorang Samurai yang tak lagi bertuan, bernama Riku (diperankan aktor Shigen yang mirip-mirip Keanu Reeves di film 47 Ronin), paska terdampar di sebuah pulau. Selain bertarung melawan mental dirinya yang hampir hancur, ia juga harus menghadapi suku kanibal. Menjajal kemampuan tarungnya kembali, sendiri.
Hampir sepertiga film diisi dengan akting solo Riku/Shigen, dan hanya sesekali tampil bayangan istrinya dulu,Ahmya (diperankan aktris Sumira Ashina) yang kalimat-kalimatnya menjadi inspirasi sekaligus memotivasi. Di bagian ini, kita seperti diajak menonton film-film indie yang ditampilkan dalam festival-an.
Ketegangan dan konflik baru dimulai pada bagian berikutnya. Adegan bagaimana Riku melakukan perlawanan dan menjebak musuh-musuhnya, terasa seperti Rambo versi Samurai Jepang. Dan bisa ditebak pada akhirnya dia menghadapi dua musuh terkuat dari suku kanibal itu. Yaitu Penyihir dan sang kepala suku, yang keduanya diperankan aktor-aktor asal Indonesia; Yayan Ruhian dan Rama Ramadhan.
Dari tata kelahinya, jelas bukan jurus khas kaum Samurai, karate, atau beladiri Jepang lainnya. Seperti pada proyek-proyeknya di luar negeri, Kang Yayang memang kerap juga diminta menangani koreografinya. Dan bagi para penggemar film aksi, apalagi yang tahu bela diri, akan bisa mencerati bahwa ini adalah Silat khas Indonesia.
Hampir tak ada yang istimewa, kecuali penataan kameranya. Shot demi shot adegan di pantai, terutama pada pertarungan di menit-menit penghujung menjadi indah lewat editing, pencahayaan serta angle yang manis. Waller boleh diberi salut pada karyanya di bagian ini.
Namun tentu saja, sebagai penonton, tak usahlah Anda memikirkan persoalan teknis sinematografi yang “njelimet”. Lone Samurai cukup enak dinikmati sebagai tontonan. Dan tidak perlu membandingkan dengan film tentang Samurai Jepang lainnya seperti Rurouni Kenshin, ataupun 11 Rebels. **
photo taken/repro, : screenhot youtube
Leave a Reply